• RSS
  • Facebook
  • Twitter
Comments



Perkembangan teknologi informasi yang berdampak pada perkembangan sistem perdagangan yang disebut sebagai e-Commerce, telah membuat perubahan yang besar dalam sistem hukum di banyak negara di dunia. Permasalahan-permasalahan hukum yang muncul pada aktivitas e-Commerce di dunia diantaranya adalah Hak kekayaan Intelektual (HKI), aspek Hukum Kontrak, keamanan transaksi dan informasi (information security), sistem pembayaran, privasi dan kerahasiaan data, yurisdiksi, dan perpajakan. Sedangkan pemasalahan e-Commerce yang ada di Indonesia diantaranya keamanan yang terkait dengan infrastruktur e-Commerce, aspek perizinan, penyelenggara jasa Internet (network providers), pembuktian pada transaksi e-Commerce, dan ketidaktersediaan Cyberlaw sebagai bentuk regulasi khusus mengatur e-Commerce.
Cyberlaw merupakan suatu sistem hukum yang dianggap relevan untuk mengatur aktivitas e-Commerce, mengingat sifat-sifat dari e-Commerce yang tidak dapat diatur dengan menggunakan instrumen hukum konvensional, sehingga banyak negara-negara di dunia kemudian secara serius membuat regulasi khusus mengenai Cyberlaw ini. Salah satu acuan bagi negara-negara di dunia untuk merumuskan Cyberlaw adalah melalui adopsi atau meratifikasi instrumen hukum internasional yang dibentuk berdasarkan konvensi ataupun framework tentang Cyberlaw maupun e-Commerce yang dibentuk oleh organisasi-organisasi internasional. Organisasi Internasional yang mengeluarkan regulasi e-Commerce yang dapat menjadi acuan atau Model Law adalah: UNCITRAL, WTO, Uni Eropa, dan OECD, sedangkan pengaturan di organisasi internasional lainnya seperti, APEC dan ASEN adalah sebatas pembentukan kerangka dasar atau Framework, yang berisi ketentuan¬ketentuan yang mendukung dan memfasilitasi perkembangan E-Commerce.

Negara-negara di dunia dalam mengantisipasi permsalahan hukum terkait dengan aktifitas E-Commerce kemudian juga melakukan perubahan terhadap sistem hukum konvensionainya. Diantara Negara¬negara di dunia Amerika Serikat merupakan negara yang paling komprehensif regulasi E-Commercenya. Sedangkan Singapura adalah negara yang paling komprehensif pengaturan E-Commerce di kawasan Asia Tenggara. RUU ITE pada dasarnya memiliki aturan yang luas hal ini dimaksudkan oleh pembentuknya untuk mempermudah melakukan regulasi terhadap dunia cyber yang luas. Hal tersebut sangat berbeda jika dibandingkan dengan regulasi Cyberlaw di negara-negara lain dalam hal ini Amerika Serikat dan Singapura, yang secara parsial atau terpisah dalam menentukan aspek Cyberlaw dan E-Commerce dalam beberapa undang-¬undang. Hal ini membuat RUU ITE terkesan kurang spesifik dalam mengatur permasalahan yang esensial dalam regulasi Cyberlaw maupun E-Commerce law, ini tercermin dari beberapa permasalahan hukum dalam E-Commerce yang diatur dalam RUU ITE yang terlampau umum dan tidak spesifik.
Dalam pengaturan mengenai permasalahan hukum E-Commerce dalam RUU ITE terdapat beberapa permasalahan yang tidak seharusnya dicantumkan atau pengaturannya tidak relevan, karena lebih tepat dilekatkan regulasi yang ada, misalnya pengaturan mengenai HKI yang cenderung dipaksakan untuk diatur dalam RUU ITE, menyebabkan aturan ini menjadi tidak komprehensif dan alangkah baiknya jika dilekatkan pada Undang-Undang HKI yang telah ada. Sedangkan beberapa permasalahan terlampau umum dan tidak diatur secara spesifik, misalnya aspek hukum kontrak, tanda tangan elektronik, lembaga sertifikasi, privasi, dan lembaga penyimpanan dokumen elektronik.

Cakupan Materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

RUU ITE merupakan rezim hukum baru karena mengatur berbagai asas legalitas dokumen elektronik antara lain dengan pengakuan tanda tangan elektronik yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional dan bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah (pasal 5 UU ITE) sebagaimana alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHAP; serta mengatur mengenai asas extra teritori, (pasal 2 UU ITE) yaitu bahwa UU ITE berlaku untuk seluruh “Orang” (individual ataupun badan hukum) yang melakukan perbuatan hukum baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memilih akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Agar teknologi dapat berkembang dan memperhatikan ketentuan terkait larangan monopoli, dalam UU ITE diatur mengenai teknologi netral yaitu bahwa pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan dengan memperhatikan kebebasan pemilihan teknologi.
UU ITE yang terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal mencakup materi mengenai Informasi dan Dokumen Elektronik; Pengiriman dan Penerimaan Surat Elektronik; Tanda Tangan Elektronik; Sertifikat Elektronik; Penyelenggaraan Sistem Elektronik; Transaksi Elektronik; Hak Atas kekayaan Intelektual; dan Perlindungan Data Pribadi atau Privasi. Sebagai tindak lanjut UU ITE, akan disusun beberapa RPP sebagai peraturan pelaksanaan, yaitu mengenai Lembaga Sertifikasi Kehandalan, Tanda Tangan Elektronik, Penyelenggara Sertifikasi Elektronik, Penyelenggaraan Sistem Elektronik, Transaksi Elektronik, Penyelenggara Agen Elektronik, Pengelola Nama Domain, Lawful Interception, dan Lembaga Data Strategis.
Melengkapi Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang telah ada, UU ITE juga mengatur mengenai hukum acara terkait penyidikan yang dilakukan aparat penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) yang memberi paradigma baru terhadap upaya penegakkan hukum dalam rangka meminimalkan potensi abuse of power penegak hukum sehingga sangat bermanfaat dalam rangka memberikan jaminan dan kepastian hukum. “Penyidikan di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data atau keutuhan data, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 42 ayat (2)). Sedangkan Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat dan wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum (Pasal 42 ayat (3)).”
Pengaturan tersebut tidak berarti memberikan peluang/pembiaran terhadap terjadinya upaya kejahatan dengan menggunakan sistem elektronik, karena dalam halhal tertentu penyidik masih mempunyai kewenangan melaksanakan tugasnya sebagaimana diatur dalam KUHAP (Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). “Dalam hal pelaku kejahatan tertangkap tangan, penyidik tidak perlu meminta izin, serta dalam hal sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuan (Pasal 38 ayat (2) KUHAP.

Kelemehahan dan Saran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi danTransaksi Ekektronik.
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah disahkan oleh DPR pada tanggal 25 Maret 2008, namun disahkannya sebuah undang-undang bukan berarti ia telah menjadi sebuah hukum yang mutlak dan tidak bisa lagi diubah atau bahkan diganti; sebaliknya justru perbaikan dan perubahan harus dilakukan pada setiap undang-undang dan peraturan lain yang diketahui memiliki kelemahan, terutama apabila kelemahan tersebut fatal sifatnya. Dalam konteks ini maka Asosiasi Internet Indonesia sebagai suatu organisasi yang berkedudukan di Indonesia dan bertujuan untuk memajukan pengembangan dan pemanfaatan internet di Indonesia secara bebas dan bertanggung jawab, wajib untuk memberikan pandangan dan usulan demi memperbaiki UU ITE tersebut yang memiliki sangat banyak kelemahan.

Kelemahan pertama: proses penyusunan.
Kelemahan pertama dari UU ITE terletak dari cara penyusunannya itu sendiri, yang menimbulkan kontradiksi atas apa yang berusaha diaturnya. UU ITE yang merupakan UU pertama yang mengatur suatu teknologi moderen, yakni teknologi informasi, masih dibuat dengan menggunakan prosedur lama yang sama sekali tidak menggambarkan adanya relevansi dengan teknologi yang berusaha diaturnya. Singkat kata, UU ITE waktu masih berupa RUU relatif tidak disosialisasikan kepada masyarakat dan penyusunannya masih dipercayakan di kalangan yang amat terbatas, serta peresmiannya dilakukan dengan tanpa terlebih dahulu melibatkan secara meluas komunitas yang akan diatur olehnya. Padahal, dalam UU ini jelas tercantum bahwa:

Pasal 1 ayat 3 Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi. Ini berarti seyogyanya dalam penyusunan UU ini memanfaatkan teknologi informasi dalam mengumpulkan pendapat mengenai kebutuhan perundangannya, menyiapkan draftnya, menyimpan data elektroniknya, mengumumkannya secara terbuka, menganalisis reaksi masyarakat terhadapnya setelah menyebarkan informasinya, sebelum akhirnya mencapai sebuah hasil akhir dan meresmikan hasil akhir tersebut sebagai sebuah UU.
Kelemahan pertama ini adalah kelemahan fatal, yang terbukti secara jelas bahwa akibat tidak dimanfaatkannya teknologi informasi dalam proses penyusunan UU ini, maka isi dari UU ini sendiri memiliki celah-celah hukum yang mana dalam waktu kurang dari sebulan peresmiannya telah menimbulkan gejolak di kalangan pelaku usaha teknologi informasi, yang diakibatkan oleh ketidakpastian yang ditimbulkannya itu.

Kelemahan kedua: salah kaprah dalam definisi.
Pasal 1 ayat 1 Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Ayat 4 Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Definisi Informasi Elektronik menggambarkan tampilan, bukan data; dari kenyataan ini terlihat jelas bahwa penyusun definisi ini belum memahami bahwa data elektronik sama sekali tidak berupa tulisan, suara, gambar atau apapun yang ditulis dalam definisi tersebut. Sebuah data elektronik hanyalah kumpulan dari bit-bit digital, yang mana setiap bit digital adalah informasi yang hanya memiliki dua pilihan, yang apabila dibatasi dengan kata “elektronik” maka pilihan itu berarti “tinggi” dan “rendah” dari suatu sinyal elektromagnetik. Bila tidak dibatasi dengan kata tersebut, maka bit digital dapat berupa kombinasi pilihan antonim apapun seperti “panjang” dan “pendek”, “hidup” dan “mati”, “hitam” dan “putih” dan sebagainya.
Pada definisi Dokumen Elektronik, bahkan ditemukan suatu keanehan dengan membandingkan antara analog, digital dengan elektromagnetik, optikal, seakan-akan antara analog dan elektromagnetik adalah dua bentuk yang merupakan pilihan “ini atau itu”. Lebih jauh lagi, penggunaan kata analog adalah suatu kesalah kaprahan karena analog sebagai suatu bentuk hanya dapat diartikan sebagai benda yang dibuat menyerupai bentuk aslinya, dan ini sama sekali tidak ada relevansinya dengan tujuan definisi yang diinginkan berhubung bentuk analog dari sebuah peta misalnya, adalah sebuah peta juga dan tidak mungkin dikirimkan lewat jaringan elektronik.
Seharusnya, definisi yang jauh lebih tepat adalah sebagai berikut: ayat 1 Informasi Digital adalah satu atau sekumpulan data digital. ayat 4 Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Digital, disimpan dalam media penyimpanan data elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang diakses dengan menggunakan Sistem Elektronik.
Selain itu, mengingat bahwa sebuah dokumen elektronik dapat diproses menjadi dua atau lebih tampilan yang berbeda (contoh: data akuntasi dapat dengan mudah ditampilkan sebagai sebuah grafik), tergantung dari Sistem Elektronik yang dipergunakan, maka dibutuhkan klarifikasi: ayat x Tampilan Elektronik adalah hasil pengolahan Dokumen Elektronik yang ditampilkan dalam suatu bentuk tertentu, dengan menggunakan Sistem Elektronik tertentu dan menjalankan suatu prosedur pengolahan tertentu.

Kelemahan ketiga: tidak konsisten.
Kelemahan ini terdapat di beberapa pasal dan ayat, salah satunya: Pasal 8 ayat 2 Kecuali diperjanjikan lain, waktu penerimaan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik ditentukan pada saat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik memasuki Sistem Elektronik di bawah kendali Penerima yang berhak.

Tampaknya ayat ini dibuat dengan logika berbeda dengan ayat 1 dalam pasal yang sama, dimana ayat 1 telah dengan benar menggunakan kriteria Sistem Elektronik yang ditunjuk atau dipergunakan, pada ayat 2 muncul kerancuan “di bawah kendali”. Suatu account e-mail yang berada di Yahoo atau Hotmail misalnya, tidak dapat dikatakan sebagai suatu Sistem Elektronik di bawah kendali karena yang dikendalikan oleh Penerima hanyalah bentuk virtualisasinya.
Pasal 15 ayat 2 Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya. ayat 3 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik. Ayat 3 mengatakan bahwa ayat 2 tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa. Keadaan memaksa? Kalau kita bicara soal komputer maka keadaan memaksa ini bisa berarti apa saja mulai dari gangguan listrik, kerusakan komputer, terkena virus, dan sebagainya yang pada intinya gangguan apapun dapat dikatakan sebagai keadaan memaksa; lantas untuk apa ayat 2 itu dibuat? Apakah yang dimaksud disini sebagai keadaan memaksa adalah definisi lazim dari “force majeure”? Entahlah, karena di bagian penjelasan dikatakan bahwa ayat ini cukup jelas.

Kelemahan keempat: masih sarat dengan muatan standar yang tidak jelas.
Kelemahan ini menjejali keseluruhan BAB VII – PERBUATAN YANG DILARANG. Pasal 27 ayat 1 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan Kesusilaan – memakai standar siapa? Bahkan dalam satu rumah tangga sekalipun, antara suami istri bisa memiliki standar kesusilaan yang berbeda, bagaimana pula dalam satu negara? Bagaimana kalau terdapat perbedaan mencolok antara standar kesusilaan pengirim dan penerima? Ayat yang seperti ini sebaiknya dihapus saja .
Ayat 2 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian. Apa tepatnya definisi perjudian itu? Apabila definisi perjudian adalah suatu kegiatan yang melibatkan uang dan/atau barang berharga lainnya, dimana terjadi perpindahan kepemilikan uang dan/atau barang berharga tersebut atas dasar pertaruhan yang dimenangkan secara untung-untungan, maka perdagangan saham jelas-jelas masuk kategori perjudian; bahkan perebutan jabatan politik pun masih bisa masuk dalam kategori ini. Sama seperti ayat 1, ayat ini juga sebaiknya dihapus saja.
Ayat 3 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Penghinaan, menurut siapa? Pencemaran nama baik, menurut siapa? Seharusnya standar tidak jelas ini diganti menjadi “memiliki muatan tuduhan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya”. Dengan cara ini, selama sesuatu masih bersifat pendapat maka tidak dapat dikategorikan sebagai tuduhan. Contoh: “Menurut saya dia bodoh” adalah pendapat, sedangkan “Saya yakin IQ nya rendah” adalah tuduhan.
Ayat 4 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman. Apakah ini berarti mengirimkan email berisi “harap jangan kasar di milis, kalau masih begitu juga anda akan saya keluarkan” dapat dihukum? Mengapa tidak dibuat dengan lebih jelas dengan tambahan “yang membahayakan harta atau jiwa”?

Kelemahan kelima: menghambat penegakan hukum serta menghambat kemajuan.
Pasal 30 dan 31 intinya melarang setiap orang untuk melakukan infiltrasi ke Sistem Elektronik milik orang lain, kecuali atas dasar permintaan institusi penegak hukum. Ini berarti semua orang yang melakukan tindakan melawan hukum menggunakan Sistem Elektronik dapat dengan aman menyimpan semua informasi yang dimilikinya selama tidak diketahui oleh penegak hukum, yang mana ini mudah dilakukan, karena orang lain tidak diperbolehkan mengakses Sistem Elektronik miliknya dan dengan demikian tidak dapat memperoleh bukti-bukti awal yang dibutuhkan untuk melakukan pengaduan. Selain itu, apakah penyusun pasal-pasal ini tidak memahami konsep “untuk menangkap maling harus belajar mencuri”? Apabila semua kegiatan explorasi keamanan Sistem Elektronik dihambat seperti ini, pada saatnya nanti terjadi peperangan teknologi informasi, bagaimana kita bisa menang kalau tidak ada yang ahli di bidang ini? Sebaliknya, jika Pasal 34 ayat 2 yang memberikan pengecualian untuk kegiatan penelitian, ingin terus menerus diterapkan, apa gunanya pasal 30 dan pasal 31? Sebaiknya keseluruhan pasal-pasal ini diformulasi ulang dari awal.

Kelemahan keenam: mengabaikan yurisdiksi hukum.
Pasal 37 Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.
Mungkin pasal 37 ini dibuat agar dalam kondisi dimana seorang yang berada di Indonesia atau seorang warga negara Indonesia melakukan penipuan terhadap warga negara lain dengan menggunakan server yang ada di negara lain, orang tersebut dapat dijerat dengan undang-undang ini. Akan tetapi karena pasal 27 mengatur tindakan-tindakan yang tidak memiliki standar yang sama di negara lain, ditambah dengan pasal 34 yang mengatur masalah penjualan perangkat keras dan lunak, pasal 37 otomatis menghasilkan konflik yurisdiksi. Contohnya adalah apabila seorang warga negara Indonesia memproduksi perangkat lunak komputer khusus untuk perjudian selama berada di Las Vegas, Amerika Serikat, dan perangkat lunak tersebut dikirim ke Indonesia untuk diinstall di komputer yang berada di Indonesia, untuk diekspor ke Amerika Serikat, lalu orang tersebut kembali ke Indonesia, maka berdasarkan pasal 37, pasal 34 dan pasal 27 orang ini dapat dikenakan sanksi karena ia melakukannya bukan untuk tujuan kegiatan penelitian atau pengujian. Karena di daerah yurisdiksi hukum dimana tindakan itu dilakukan, sama sekali tidak terjadi pelanggaran hukum, Pasal 37 ini telah mengabaikan yurisdiksi hukum dan dengan demikian UU ITE ini memiliki cacat hukum.

Mungkin masih ada kelemahan lain yang terluput namun intinya, kelemahan-kelemahan ini bisa ada karena tidak dilibatkannya masyarakat pengguna teknologi informasi secara meluas dalam penyusunan UU ITE ini, yang mana diharapkan kesalahan ini tidak terulang lagi di kemudian hari demi tercapainya kemajuan bersama yang diharapkan sebagai tujuan penyusunan UU ITE.

Categories:

Leave a Reply