Perkembangan
teknologi informasi yang berdampak pada perkembangan sistem perdagangan yang
disebut sebagai e-Commerce, telah membuat perubahan yang besar dalam sistem
hukum di banyak negara di dunia. Permasalahan-permasalahan hukum yang muncul
pada aktivitas e-Commerce di dunia diantaranya adalah Hak kekayaan Intelektual
(HKI), aspek Hukum Kontrak, keamanan transaksi dan informasi (information
security), sistem pembayaran, privasi dan kerahasiaan data, yurisdiksi, dan
perpajakan. Sedangkan pemasalahan e-Commerce yang ada di Indonesia diantaranya
keamanan yang terkait dengan infrastruktur e-Commerce, aspek perizinan,
penyelenggara jasa Internet (network providers), pembuktian pada transaksi
e-Commerce, dan ketidaktersediaan Cyberlaw sebagai bentuk regulasi khusus
mengatur e-Commerce.
Cyberlaw
merupakan suatu sistem hukum yang dianggap relevan untuk mengatur aktivitas
e-Commerce, mengingat sifat-sifat dari e-Commerce yang tidak dapat diatur
dengan menggunakan instrumen hukum konvensional, sehingga banyak negara-negara
di dunia kemudian secara serius membuat regulasi khusus mengenai Cyberlaw ini.
Salah satu acuan bagi negara-negara di dunia untuk merumuskan Cyberlaw adalah
melalui adopsi atau meratifikasi instrumen hukum internasional yang dibentuk
berdasarkan konvensi ataupun framework tentang Cyberlaw maupun e-Commerce yang
dibentuk oleh organisasi-organisasi internasional. Organisasi Internasional
yang mengeluarkan regulasi e-Commerce yang dapat menjadi acuan atau Model Law
adalah: UNCITRAL, WTO, Uni Eropa, dan OECD, sedangkan pengaturan di organisasi
internasional lainnya seperti, APEC dan ASEN adalah sebatas pembentukan
kerangka dasar atau Framework, yang berisi ketentuan¬ketentuan yang mendukung
dan memfasilitasi perkembangan E-Commerce.
Negara-negara
di dunia dalam mengantisipasi permsalahan hukum terkait dengan aktifitas
E-Commerce kemudian juga melakukan perubahan terhadap sistem hukum
konvensionainya. Diantara Negara¬negara di dunia Amerika Serikat merupakan
negara yang paling komprehensif regulasi E-Commercenya. Sedangkan Singapura
adalah negara yang paling komprehensif pengaturan E-Commerce di kawasan Asia
Tenggara. RUU ITE pada dasarnya memiliki aturan yang luas hal ini dimaksudkan
oleh pembentuknya untuk mempermudah melakukan regulasi terhadap dunia cyber
yang luas. Hal tersebut sangat berbeda jika dibandingkan dengan regulasi
Cyberlaw di negara-negara lain dalam hal ini Amerika Serikat dan Singapura,
yang secara parsial atau terpisah dalam menentukan aspek Cyberlaw dan
E-Commerce dalam beberapa undang-¬undang. Hal ini membuat RUU ITE terkesan
kurang spesifik dalam mengatur permasalahan yang esensial dalam regulasi
Cyberlaw maupun E-Commerce law, ini tercermin dari beberapa permasalahan hukum
dalam E-Commerce yang diatur dalam RUU ITE yang terlampau umum dan tidak
spesifik.
Dalam
pengaturan mengenai permasalahan hukum E-Commerce dalam RUU ITE terdapat
beberapa permasalahan yang tidak seharusnya dicantumkan atau pengaturannya
tidak relevan, karena lebih tepat dilekatkan regulasi yang ada, misalnya
pengaturan mengenai HKI yang cenderung dipaksakan untuk diatur dalam RUU ITE,
menyebabkan aturan ini menjadi tidak komprehensif dan alangkah baiknya jika
dilekatkan pada Undang-Undang HKI yang telah ada. Sedangkan beberapa
permasalahan terlampau umum dan tidak diatur secara spesifik, misalnya aspek
hukum kontrak, tanda tangan elektronik, lembaga sertifikasi, privasi, dan
lembaga penyimpanan dokumen elektronik.
Cakupan
Materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
RUU
ITE merupakan rezim hukum baru karena mengatur berbagai asas legalitas dokumen
elektronik antara lain dengan pengakuan tanda tangan elektronik yang memiliki
kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional dan bukti elektronik
sebagai alat bukti yang sah (pasal 5 UU ITE) sebagaimana alat bukti lainnya
yang diatur dalam KUHAP; serta mengatur mengenai asas extra teritori, (pasal 2
UU ITE) yaitu bahwa UU ITE berlaku untuk seluruh “Orang” (individual ataupun
badan hukum) yang melakukan perbuatan hukum baik yang berada di wilayah hukum Indonesia
maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memilih akibat hukum di wilayah
hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan
kepentingan Indonesia.
Agar
teknologi dapat berkembang dan memperhatikan ketentuan terkait larangan
monopoli, dalam UU ITE diatur mengenai teknologi netral yaitu bahwa pemanfaatan
teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan dengan memperhatikan
kebebasan pemilihan teknologi.
UU
ITE yang terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal mencakup materi mengenai Informasi
dan Dokumen Elektronik; Pengiriman dan Penerimaan Surat Elektronik; Tanda
Tangan Elektronik; Sertifikat Elektronik; Penyelenggaraan Sistem Elektronik;
Transaksi Elektronik; Hak Atas kekayaan Intelektual; dan Perlindungan Data
Pribadi atau Privasi. Sebagai tindak lanjut UU ITE, akan disusun beberapa RPP
sebagai peraturan pelaksanaan, yaitu mengenai Lembaga Sertifikasi Kehandalan,
Tanda Tangan Elektronik, Penyelenggara Sertifikasi Elektronik, Penyelenggaraan
Sistem Elektronik, Transaksi Elektronik, Penyelenggara Agen Elektronik,
Pengelola Nama Domain, Lawful Interception, dan Lembaga Data Strategis.
Melengkapi
Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang telah ada, UU ITE juga
mengatur mengenai hukum acara terkait penyidikan yang dilakukan aparat penegak
hukum (kepolisian dan kejaksaan) yang memberi paradigma baru terhadap upaya
penegakkan hukum dalam rangka meminimalkan potensi abuse of power penegak hukum
sehingga sangat bermanfaat dalam rangka memberikan jaminan dan kepastian hukum.
“Penyidikan di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik dilakukan
dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran
layanan publik, integritas data atau keutuhan data, sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan (Pasal 42 ayat (2)). Sedangkan Penggeledahan dan/atau
penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana
harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat dan wajib menjaga
terpeliharanya kepentingan pelayanan umum (Pasal 42 ayat (3)).”
Pengaturan
tersebut tidak berarti memberikan peluang/pembiaran terhadap terjadinya upaya
kejahatan dengan menggunakan sistem elektronik, karena dalam halhal tertentu
penyidik masih mempunyai kewenangan melaksanakan tugasnya sebagaimana diatur
dalam KUHAP (Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). “Dalam hal pelaku
kejahatan tertangkap tangan, penyidik tidak perlu meminta izin, serta dalam hal
sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera dan tidak mungkin
untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan hanya
atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua
pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuan (Pasal 38 ayat (2)
KUHAP.
Kelemehahan
dan Saran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi danTransaksi
Ekektronik.
Undang-undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah disahkan oleh DPR pada
tanggal 25 Maret 2008, namun disahkannya sebuah undang-undang bukan berarti ia
telah menjadi sebuah hukum yang mutlak dan tidak bisa lagi diubah atau bahkan
diganti; sebaliknya justru perbaikan dan perubahan harus dilakukan pada setiap
undang-undang dan peraturan lain yang diketahui memiliki kelemahan, terutama
apabila kelemahan tersebut fatal sifatnya. Dalam konteks ini maka Asosiasi
Internet Indonesia sebagai suatu organisasi yang berkedudukan di Indonesia dan
bertujuan untuk memajukan pengembangan dan pemanfaatan internet di Indonesia
secara bebas dan bertanggung jawab, wajib untuk memberikan pandangan dan usulan
demi memperbaiki UU ITE tersebut yang memiliki sangat banyak kelemahan.
Kelemahan
pertama: proses penyusunan.
Kelemahan
pertama dari UU ITE terletak dari cara penyusunannya itu sendiri, yang
menimbulkan kontradiksi atas apa yang berusaha diaturnya. UU ITE yang merupakan
UU pertama yang mengatur suatu teknologi moderen, yakni teknologi informasi,
masih dibuat dengan menggunakan prosedur lama yang sama sekali tidak
menggambarkan adanya relevansi dengan teknologi yang berusaha diaturnya.
Singkat kata, UU ITE waktu masih berupa RUU relatif tidak disosialisasikan
kepada masyarakat dan penyusunannya masih dipercayakan di kalangan yang amat
terbatas, serta peresmiannya dilakukan dengan tanpa terlebih dahulu melibatkan
secara meluas komunitas yang akan diatur olehnya. Padahal, dalam UU ini jelas
tercantum bahwa:
Pasal
1 ayat 3 Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan,
menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau
menyebarkan informasi. Ini berarti seyogyanya dalam penyusunan UU ini
memanfaatkan teknologi informasi dalam mengumpulkan pendapat mengenai kebutuhan
perundangannya, menyiapkan draftnya, menyimpan data elektroniknya,
mengumumkannya secara terbuka, menganalisis reaksi masyarakat terhadapnya
setelah menyebarkan informasinya, sebelum akhirnya mencapai sebuah hasil akhir
dan meresmikan hasil akhir tersebut sebagai sebuah UU.
Kelemahan
pertama ini adalah kelemahan fatal, yang terbukti secara jelas bahwa akibat
tidak dimanfaatkannya teknologi informasi dalam proses penyusunan UU ini, maka
isi dari UU ini sendiri memiliki celah-celah hukum yang mana dalam waktu kurang
dari sebulan peresmiannya telah menimbulkan gejolak di kalangan pelaku usaha
teknologi informasi, yang diakibatkan oleh ketidakpastian yang ditimbulkannya
itu.
Kelemahan
kedua: salah kaprah dalam definisi.
Pasal
1 ayat 1 Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),
telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses,
simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya.
Ayat
4 Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan,
dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang
memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Definisi
Informasi Elektronik menggambarkan tampilan, bukan data; dari kenyataan ini
terlihat jelas bahwa penyusun definisi ini belum memahami bahwa data elektronik
sama sekali tidak berupa tulisan, suara, gambar atau apapun yang ditulis dalam
definisi tersebut. Sebuah data elektronik hanyalah kumpulan dari bit-bit digital,
yang mana setiap bit digital adalah informasi yang hanya memiliki dua pilihan,
yang apabila dibatasi dengan kata “elektronik” maka pilihan itu berarti
“tinggi” dan “rendah” dari suatu sinyal elektromagnetik. Bila tidak dibatasi
dengan kata tersebut, maka bit digital dapat berupa kombinasi pilihan antonim
apapun seperti “panjang” dan “pendek”, “hidup” dan “mati”, “hitam” dan “putih”
dan sebagainya.
Pada
definisi Dokumen Elektronik, bahkan ditemukan suatu keanehan dengan
membandingkan antara analog, digital dengan elektromagnetik, optikal,
seakan-akan antara analog dan elektromagnetik adalah dua bentuk yang merupakan
pilihan “ini atau itu”. Lebih jauh lagi, penggunaan kata analog adalah suatu
kesalah kaprahan karena analog sebagai suatu bentuk hanya dapat diartikan
sebagai benda yang dibuat menyerupai bentuk aslinya, dan ini sama sekali tidak
ada relevansinya dengan tujuan definisi yang diinginkan berhubung bentuk analog
dari sebuah peta misalnya, adalah sebuah peta juga dan tidak mungkin dikirimkan
lewat jaringan elektronik.
Seharusnya,
definisi yang jauh lebih tepat adalah sebagai berikut: ayat 1 Informasi Digital
adalah satu atau sekumpulan data digital. ayat 4 Dokumen Elektronik adalah
setiap Informasi Digital, disimpan dalam media penyimpanan data elektromagnetik,
optikal, atau sejenisnya, yang diakses dengan menggunakan Sistem Elektronik.
Selain
itu, mengingat bahwa sebuah dokumen elektronik dapat diproses menjadi dua atau
lebih tampilan yang berbeda (contoh: data akuntasi dapat dengan mudah
ditampilkan sebagai sebuah grafik), tergantung dari Sistem Elektronik yang
dipergunakan, maka dibutuhkan klarifikasi: ayat x Tampilan Elektronik adalah
hasil pengolahan Dokumen Elektronik yang ditampilkan dalam suatu bentuk
tertentu, dengan menggunakan Sistem Elektronik tertentu dan menjalankan suatu
prosedur pengolahan tertentu.
Kelemahan
ketiga: tidak konsisten.
Kelemahan
ini terdapat di beberapa pasal dan ayat, salah satunya: Pasal 8 ayat 2 Kecuali
diperjanjikan lain, waktu penerimaan suatu Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik ditentukan pada saat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik memasuki Sistem Elektronik di bawah kendali Penerima yang berhak.
Tampaknya
ayat ini dibuat dengan logika berbeda dengan ayat 1 dalam pasal yang sama,
dimana ayat 1 telah dengan benar menggunakan kriteria Sistem Elektronik yang
ditunjuk atau dipergunakan, pada ayat 2 muncul kerancuan “di bawah kendali”.
Suatu account e-mail yang berada di Yahoo atau Hotmail misalnya, tidak dapat
dikatakan sebagai suatu Sistem Elektronik di bawah kendali karena yang
dikendalikan oleh Penerima hanyalah bentuk virtualisasinya.
Pasal
15 ayat 2 Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap
Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya. ayat 3 Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan
memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik. Ayat 3
mengatakan bahwa ayat 2 tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya
keadaan memaksa. Keadaan memaksa? Kalau kita bicara soal komputer maka keadaan
memaksa ini bisa berarti apa saja mulai dari gangguan listrik, kerusakan
komputer, terkena virus, dan sebagainya yang pada intinya gangguan apapun dapat
dikatakan sebagai keadaan memaksa; lantas untuk apa ayat 2 itu dibuat? Apakah
yang dimaksud disini sebagai keadaan memaksa adalah definisi lazim dari “force
majeure”? Entahlah, karena di bagian penjelasan dikatakan bahwa ayat ini cukup
jelas.
Kelemahan
keempat: masih sarat dengan muatan standar yang tidak jelas.
Kelemahan
ini menjejali keseluruhan BAB VII – PERBUATAN YANG DILARANG. Pasal 27 ayat 1
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan Kesusilaan –
memakai standar siapa? Bahkan dalam satu rumah tangga sekalipun, antara suami
istri bisa memiliki standar kesusilaan yang berbeda, bagaimana pula dalam satu
negara? Bagaimana kalau terdapat perbedaan mencolok antara standar kesusilaan
pengirim dan penerima? Ayat yang seperti ini sebaiknya dihapus saja .
Ayat
2 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian. Apa tepatnya definisi
perjudian itu? Apabila definisi perjudian adalah suatu kegiatan yang melibatkan
uang dan/atau barang berharga lainnya, dimana terjadi perpindahan kepemilikan
uang dan/atau barang berharga tersebut atas dasar pertaruhan yang dimenangkan
secara untung-untungan, maka perdagangan saham jelas-jelas masuk kategori
perjudian; bahkan perebutan jabatan politik pun masih bisa masuk dalam kategori
ini. Sama seperti ayat 1, ayat ini juga sebaiknya dihapus saja.
Ayat
3 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik. Penghinaan, menurut siapa? Pencemaran nama baik, menurut siapa?
Seharusnya standar tidak jelas ini diganti menjadi “memiliki muatan tuduhan
yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya”. Dengan cara ini, selama sesuatu
masih bersifat pendapat maka tidak dapat dikategorikan sebagai tuduhan. Contoh:
“Menurut saya dia bodoh” adalah pendapat, sedangkan “Saya yakin IQ nya rendah”
adalah tuduhan.
Ayat
4 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman. Apakah
ini berarti mengirimkan email berisi “harap jangan kasar di milis, kalau masih
begitu juga anda akan saya keluarkan” dapat dihukum? Mengapa tidak dibuat
dengan lebih jelas dengan tambahan “yang membahayakan harta atau jiwa”?
Kelemahan
kelima: menghambat penegakan hukum serta menghambat kemajuan.
Pasal
30 dan 31 intinya melarang setiap orang untuk melakukan infiltrasi ke Sistem
Elektronik milik orang lain, kecuali atas dasar permintaan institusi penegak
hukum. Ini berarti semua orang yang melakukan tindakan melawan hukum
menggunakan Sistem Elektronik dapat dengan aman menyimpan semua informasi yang
dimilikinya selama tidak diketahui oleh penegak hukum, yang mana ini mudah
dilakukan, karena orang lain tidak diperbolehkan mengakses Sistem Elektronik miliknya
dan dengan demikian tidak dapat memperoleh bukti-bukti awal yang dibutuhkan
untuk melakukan pengaduan. Selain itu, apakah penyusun pasal-pasal ini tidak
memahami konsep “untuk menangkap maling harus belajar mencuri”? Apabila semua
kegiatan explorasi keamanan Sistem Elektronik dihambat seperti ini, pada
saatnya nanti terjadi peperangan teknologi informasi, bagaimana kita bisa
menang kalau tidak ada yang ahli di bidang ini? Sebaliknya, jika Pasal 34 ayat
2 yang memberikan pengecualian untuk kegiatan penelitian, ingin terus menerus
diterapkan, apa gunanya pasal 30 dan pasal 31? Sebaiknya keseluruhan
pasal-pasal ini diformulasi ulang dari awal.
Kelemahan
keenam: mengabaikan yurisdiksi hukum.
Pasal
37 Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia
terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.
Mungkin
pasal 37 ini dibuat agar dalam kondisi dimana seorang yang berada di Indonesia atau
seorang warga negara Indonesia melakukan penipuan terhadap warga negara lain
dengan menggunakan server yang ada di negara lain, orang tersebut dapat dijerat
dengan undang-undang ini. Akan tetapi karena pasal 27 mengatur
tindakan-tindakan yang tidak memiliki standar yang sama di negara lain,
ditambah dengan pasal 34 yang mengatur masalah penjualan perangkat keras dan
lunak, pasal 37 otomatis menghasilkan konflik yurisdiksi. Contohnya adalah
apabila seorang warga negara Indonesia memproduksi perangkat lunak komputer
khusus untuk perjudian selama berada di Las Vegas, Amerika Serikat, dan
perangkat lunak tersebut dikirim ke Indonesia untuk diinstall di komputer yang
berada di Indonesia, untuk diekspor ke Amerika Serikat, lalu orang tersebut
kembali ke Indonesia, maka berdasarkan pasal 37, pasal 34 dan pasal 27 orang
ini dapat dikenakan sanksi karena ia melakukannya bukan untuk tujuan kegiatan
penelitian atau pengujian. Karena di daerah yurisdiksi hukum dimana tindakan
itu dilakukan, sama sekali tidak terjadi pelanggaran hukum, Pasal 37 ini telah
mengabaikan yurisdiksi hukum dan dengan demikian UU ITE ini memiliki cacat
hukum.
Mungkin
masih ada kelemahan lain yang terluput namun intinya, kelemahan-kelemahan ini
bisa ada karena tidak dilibatkannya masyarakat pengguna teknologi informasi
secara meluas dalam penyusunan UU ITE ini, yang mana diharapkan kesalahan ini
tidak terulang lagi di kemudian hari demi tercapainya kemajuan bersama yang
diharapkan sebagai tujuan penyusunan UU ITE.